Rabu, 28 April 2010

Mampukah kita Mencintai Tanpa Syarat… ???


Kisah Nyata, Buat para suami baca ya….. istri & calon istri juga boleh.. semoga bermanfaat

Dilihat dari usianya beliau sudah tidak muda lagi, usia yg sudah senja bahkan sudah mendekati malam,Pak Suyatno 58 tahun kesehariannya diisi dengan merawat istrinya yang sakit istrinya juga sudah tua. mereka menikah sudah lebih 32 tahun.

Mereka dikarunia 4 orang anak disinilah awal cobaan menerpa,setelah istrinya melahirkan anak ke empat tiba2 kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan itu terjadi selama 2 tahun, menginjak tahun ke tiga
seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang lidahnyapun sudah tidak bisa digerakkan lagi

Setiap hari pak suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan mengangkat istrinya keatas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja dia letakkan istrinya didepan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian..

Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinya tersenyum, untunglah tempat usaha pak suyatno tidak begitu jauh dari rumahnya sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan
siang. sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa2 saja yg dia alami seharian.

Walaupun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa menanggapi, Pak Suyatno sudah cukup senang bahkan dia selalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur.

Rutinitas ini dilakukan Pak Suyatno lebih kurang 25 tahun, dengan sabar dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke empat buah hati mereka, sekarang anak2 mereka sudah dewasa tinggal si bungsu yg masih kuliah.

Pada suatu hari ke empat anak suyatno berkumpul dirumah orang tua mereka sambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka menikah sudah tinggal dengan keluarga masing2 dan Pak Suyatno memutuskan ibu mereka dia yg merawat, yang dia inginkan hanya satu semua anaknya berhasil.

Dengan kalimat yg cukup hati2 anak yg sulung berkata ” Pak kami ingin sekali merawat ibu semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak……. ..bahkan bapak
tidak ijinkan kami menjaga ibu” . dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata2nya “sudah yg keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi, kami rasa ibupun akan mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tua bapak dengan berkorban seperti ini kami sudah tidak tega melihat bapak,
kami janji kami akan merawat ibu sebaik-baik secara bergantian”.

Pak Suyatno menjawab hal yg sama sekali tidak diduga anak2 mereka.” Anak2ku ……… Jikalau perkawinan & hidup didunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah….. .tapi ketahuilah dengan adanya
ibu kalian disampingku itu sudah lebih dari cukup, dia telah melahirkan kalian.. sejenak kerongkongannya tersekat,… kalian yg selalu kurindukan hadir didunia ini dengan penuh cinta yg tidak satupun dapat
menghargai dengan apapun. coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti Ini.

Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang, kalian menginginkan bapak yg masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yg masih sakit.”

Sejenak meledaklah tangis anak2 pak suyatno merekapun melihat butiran2 kecil jatuh dipelupuk mata ibu Suyatno.. dengan pilu ditatapnya mata suami yg sangat dicintainya itu.. Sampailah akhirnya Pak Suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada Suyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat Istrinya yg sudah tidak bisa apa2.. disaat itulah meledak tangis beliau dengan tamu yg hadir di studio kebanyakan kaum perempuanpun tidak sanggup menahan haru disitulah Pak Suyatno bercerita.

“Jika manusia didunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkawinannya, tetapi tidak mau memberi ( memberi waktu, tenaga, pikiran, perhatian ) adalah kesia-siaan. Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya mencintai saya dengan hati dan bathinnya bukan dengan mata, dan dia memberi saya 4 orang anak yg lucu2..

Sekarang dia sakit karena berkorban untuk cinta kita bersama..dan itu merupakan ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya. sehatpun belum tentu saya mencari
penggantinya apalagi dia sakit,,,: http://bungakehidupan.wordpress.com/wandi.

Amanah Seharga 30 Ribu Rupiah


Pagi yang cerah. Alhamdulillah mata ini sudah terbuka sejak sebelum adzan Subuh berkumandang. Suara gemerisik di lantai bawah membuat tidurku terusik.

“O iya, ba’da Subuh si Akang harus pergi ke Jakarta. Astagfirullah, kok sampe lupa ya!” gerutuku dalam hati.

Sebenarnya tubuh ini sangat malas diajak bangkit, rasanya sehari kemarin energi di badan sudah habis terbakar. Urusan keluar rumah untuk mendaftarkan si sulung ke TK Al-Quran lumayan membuat penat badan. Walaupun hanya berjalan sekian ratus meter, tapi menuntun dua buah hatiku yang masih tergolong balita, perlu ekstra kesabaran.

Langkah kaki mereka yang begitu pendek, membuat hatiku harus lapang menerima. Melihat dua gadis mungil amanah Allah ini begitu bersemangat menuju Mesjid As Syari’i yang ada di kampus UNISBA Bandung- tempat di mana TKQ itu berada, membuat jiwaku pun terbakar. Tetapi beratnya perutku yang terkandung janin, titipan Allah yang ketiga buat keluarga mungil kami, semakin membuat langkahku ekstra hati-hati. Akibatnya urat syaraf pun tegang, apalagi ketika harus menyeberang sambil menggendong si tengah dan memegang jemari mungil dan halus milik si sulung.

Kalau mengingat itu semua ingin rasanya tetap berbaring. Mengembalikan kebugaran diri. Tapi, istri macam apa kalau begitu!

”Allahu Akbar Allahu Akbar…”
Suara adzan Subuh mulai berkumandang ketika tanganku sudah selesai menyetrika kemeja dan celana yang akan dipakai suami berangkat ba’da Subuh ini.

”Ibu…Ibu…eeeenggg….” Subhanallah suara para jundi kami sudah terdengar. Padahal jam baru saja menunjukkan jarum 04.30! Mata keduanya terbuka sayup-sayup, masih setengah mengantuk ketika kuintip ke kamar.

”Ayah mana, Bu?” tanya si sulung.

”Lagi mandi, mau siap-siap berangkat kerja ke Jakarta, Nak.”

”Aku mau lihat Ayah,” kata si sulung mantap.
Mendengar kata ’Ayah’ si tengah pun jadi bersemangat. Mereka berdua sigap duduk, lalu melangkah menuruni tangga.

”Ayah…Ayah…” Suara mereka sangat menyejukkan hatiku. Dan suamiku pun tersenyum bahagia dilepas oleh seluruh anggota keluarga di tengah pagi buta ini.

***
”Tok…tok…punten…” Terdengar suara bervolume rendah dari arah pintu rumah.

”Duuh…gimana nih.” Aku yang baru akan buang hajat jadi terganggu. Ingin cuek saja, tapi takut hal penting. Terpaksalah urusan ini ditunda dulu.

”Yaa, sebentar.” Suaraku berkumandang sambil mataku berselancar mencari di mana jilbab praktis yang biasanya kuletakkan di beberapa titik rumah. Biar gampang diraih jika ada tamu mendadak.

”Punten…” Suara itu lagi.

”Ya…ya…saya bukakan pintu.”
Entah kenapa tiba-tiba hatiku jadi sebel. Bagaimana tidak? Aku kenal pemilik suara itu. Seorang laki-laki berusia kira-kira 45-an, satpam PT. Laptop, perusahaan di depan rumah tempat tinggalku, seorang pria yang kadang-kadang bekerja sebagai buruh kasar di kompleks tempat kami tinggal.

Pak Saman, begitu dia biasa disapa.
Pekerjaan sampingan yang kusebut tadi adalah membersihkan batu-batu halaman parkir, memotong ranting pohon jika sudah panjang, membersihkan dan menata ulang taman, dan selama sepuluh tahun dia pernah bekerja sebagai pengurus tinja kompleks perumahan ini.

”Ya, Pak Saman?” Wajahku keruh seperti gulai salah bumbu.

”Hehe…hehe…ini, Bu. Mau minta pembayaran,” katanya dalam Bahasa Sunda yang aku kadang tak mengerti. Karna kromo inggilnya.

”Tagihan? Tagihan apa, Pak?” Makin masem muka ini. Sudah hampir empat bulan lebih tak berhubungan dengan pria ini, bikin aku jadi gerah dengan kata ’tagihan’.

Dia menyodorkan sebuah map biru yang di dalamnya ada daftar delapan nama penghuni plus harga tagihan. Di sana tertera uang sebesar tiga puluh dua ribu per kepala keluarga.

”32,000 ini untuk apa, Pak?”

”Ya untuk bebersih di depan, Bu,” katanya nyengir ramah. Tapi aku sangat alergi dengan senyuman ramahnya itu. Aku pernah merasa dikhianati…

”Bebersih apa toh?” tanyaku sedikit tinggi.

”Ya itu, Bu. Ngerapihin batu-batu di depan. Kan kalau kena hujan tertanam, jadinya harus dicungkil-cungkil lagi. Biar rapi…”

Uh, siapa suruh kerja begituan. Lagipula mobil kami kan tidak diparkir di halaman dalam yang berbatu itu. Kami mah di luar sana. Hampir saja skenario seperti ini melompat dari mulutku. Tapi kutahan diri. Males beragumen.

Di kompleks perumahan tempat kami tinggal ini, seperti ada ’kewajiban buta’ yang harus dipatuhi. Tidak punya halaman khusus, tapi harus ikut nanggung biaya rawat taman. Kami tinggal di lantai dua, tidak merasa pakai halaman berbatu, tapi ya seperti inilah harus juga kena tagihan. Walaupun biaya sewa rumah sangat murah, tapi biaya perawatan ini itu yang kadang tidak kami miliki jadi kewajiban kantong kami membayarnya. Bukan kewajiban instansi yang memiliki perumahan ini.

”Ya sudah. Tunggu sebentar,” kataku hendak masuk ke dalam rumah mengambil uang.

”Bu…Bu…uangnya nggak perlu. Ibu cukup tanda tangan.” Pak Saman mencegah langkahku.

”E? Maksudnya gimana, Pak?” tanyaku bingung.

”Iya, pan baheula uang Ibu aya di sayah. Jadi, tos we, Ibu tanda tangan.”

Aku terkesiap dengan ucapannya. Ingatanku kembali ke empat bulan silam. Hakku menerima uang sebesar 30 ribu ternyata tidak dikembalikan secara utuh olehnya. Dia hanya cengengesan ketika kutanya tentang uang itu. ”Dipinjam heula…hahaha…hahah….” Nyengir kudanya yang sangat membuatku sebel!

***

Sampai empat bulan yang lalu, Pak Saman biasa mengurus pembuangan dan pengangkutan tinja di kompleks rumah ini. Di kompleks ini ada tiga rumah besar, yang dihuni oleh penghuni senior dan sudah jadi hak milik. Kemudian di lahan agak belakang, berdiri rumah flat, dengan jumlah pintu delapan buah, yang berarti dihuni oleh delapan KK. Salah satunya adalah kami sekeluarga.

Menurut cerita seorang penghuni senior yang sudah puluhan tahun tinggal di salah satu flat itu, bahwa selama itu pulalah di kompleks ini tidak ada septi-tank. Aneh bin ajaib, tapi begitulah kenyataannya. Maka setiap empat bulan sekali, muncullah pahlawan yang mau bersusah payah mengurusi kotoran manusia-manusia penghuni kompleks ini.

Maka terkenallah Pak Saman, saptam tetangga yang mencari tambahan pendapatan lewat mengurusi tetek bengek kompleks perumahan kami.

”Bu Diky. Sekarang Ibulah yang saya tunjuk jadi pengurus baru untuk bagian kotoran itu ya.” Itulah kalimat bernada perintah dari penghuni senior itu, yang seratus persen memaksa aku terpojok untuk mau melakukannya. Dia tidak meminta pendapatku dulu, apalagi pendapat suamiku, apakah mau mengerjakan tugas ini atau tidak. Tugas yang sudah puluhan tahun dikerjakannya.

”Gampang kok. Tinggal panggil Pak Saman, dia sudah tahu mesti mengerjakan apa.” Pak Saman yang diperkenalkan padaku sudah sumringah duluan.

”Kalau bukan saya yang mengaturnya, waaah itu kotoran manusia mau diapain. Kan jijik, bikin bau got, lalu kalau sedang musim hujan bisa-bisa naik airnya yang penuh beol itu. Iiii…mau muntah aku rasanya. Ueek…uek…ueeek….” Nyonya Sugih, sebutlah namanya begitu, penghuni lama yang ternyata satu suku denganku. Makanya dia langsung merasa akrab dan berani memindahtugaskan apa-apa yang dulu pernah dia lakukan.

”Cumaa…untuk ngerjain itu Pak Saman nggak gratis loh ya.” Pak Saman yang namanya sekian kali disebut oleh Bu Sugih terus mesem-mesem.

”Biayanya sekitar 350 ribu. Tapi saya biasa kasih 400 ribu. Coba bayangkan siapa yang mau ngurusin tai orang.” Bu Sugih sangat berapi-api. Matanya melotot, tangannya sangat aktif bergerak. Sungguh impresif.

”Cuma…orang-orang di kompleks ini selalu tak setuju dengan besarnya gaji Pak Saman itu. Aku suka nyelengsek.” Dia menunjuk dadanya. Kesal sekali tampaknya.

”Orang-orang menudingku dapat persenan dari uang 350 ribu itu. Uh, persenan apa toh? Biarlah Allah melaknatku jika iya aku korupsi uang mereka.”

Pak Saman cuma nyengiiir saja. Sesekali menepuk-nepuk lengan Bu Sugih, memberi kesabaran yang aku tak paham maksudnya.

”Tanya Pak Saman!. Aku selalu ngurut dada ngurusin soal ini puluhan tahun. Heran. Setiap kali Pak Saman menagih pembayaran, mereka selaluuu aja komplain. Yang kemahalan lah. Ya, Pak Saman?” tanyanya kepada Pak Saman. Si Pahlawan hanya mengangguk-ngangguk.

”Kadang aku bilang ke Pak Saman. Kalau ada yang malas membayar, suruh dia urus tainya sendiri!” Aku kaget dengan ketusnya kalimat yang keluar dari bibir nyonya paruh baya, istri seorang pejabat instansi.

Akhirnya, tugas itu dilimpahkan padaku. Sebagai orang baru, dan penuh keingintahuan, kupotret semua aktifitas Pak Saman. Hasil foto-foto ini nanti akan kulampirkan pada lembar tagihan kepada warga. Aku tak mau jadi ‘tersangka’ korupsi kedua setelah Bu Sugih.

Memang pekerjaan yang tidak menyenangkan. Mengangkut kotoran manusia yang mengambang di got, lalu ditumpuk dipinggir bagian yang kering, dikeringkan dengan matahari selama dua hari, setelah kering barulah dimasukkan ke dalam kantong-kantong plastik, dan diangkut dengan menggunakan kereta dorong seperti kereta pengangkut sampah.

Hatiku sedih melihat pria itu bekerja melawan rasa busuk, berjam-jam mengangkuti ’hajat’ orang lain. Lalu mengangkut kantong-kantong kotoran yang sudah kering, memindahkannya ke dalam gerobak sampah yang ketika didorong rodanya patah sebelah!

”Apa tidak bau, Pak?” tanyaku mengamatinya dari jauh.

”Enggak, Bu. Saya sambil merokok kalau tidak pasti tidak kuat dengan baunya.”

Kuperhatikan sosok itu. Mengapa pria seperti itu mau saja bekerja mengangkuti kotoran manusia. Apa benar hanya karena uang? Gaji sebagai satpam mungkin tak sampai empat ratus ribu rupiah. Mungkin karena itulah dia mau mengerjakan apa saja demi menambah pundi-pundi rumah tangganya.

”Pak Saman ini pernah nggak makan dua bulan loh, Bu Diky.” Aku teringat percakapan dengan Bu Sugih suatu hari.

”Kenapa memangnya, Bu?” Aku balik bertanya.

”Ya karena berjam-jam, berhari-hari ngurusin kotoran kami.” Masya Allah, kasihan juga dia.

***
Rasa kasihanku sudah penuh hingga ke ubun-ubun. Setiap hari ketika dia bekerja, selalu kusisihkan uang dua puluh ribu untuk makan siangnya. Tiap kali aku mengeluarkan uang, selalu aku catat. Karena ini sistem reimburse ke setiap penghuni nanti, maka uang gaji suami yang kupakai untuk menalangi pembayaran Pak Saman pun harus jelas terinci.

Namun suatu hari, Bu Sugih menegurku. ”Bu Diky. Katanya nggak ngasih uang rokok Pak Saman?”

Aku kaget. ”Uang rokok, Bu?”

”Iya, uang gajinya begitu. Dia bilang hanya sekali diberi uang makan oleh Bu Diky. Orang macam Pak Saman mana mau kerja tanpa dibayar dulu.”

Haah?? Aku terbelalak. Kok ada sistem seperti itu? Dibayar dulu baru kerja? Lah, kalau dia tidak melaksanakan kewajibannya setelah mendapat bayaran, siapa yang mau rugi nanti? Masak iya aku dan suamiku? Uang yang dibayarkan cukup besar, makanya aku tidak mau main-main.

”Ya memang begitu. Kalau tidak dia tidak akan meneruskan kerjaannya loh.” Bu Sugih menjawab semua kebingunganku itu.

”Haah…begitu ya, Bu. Ya sudah nanti saya bayar dulu.”

Segera setelah itu aku telepon suami untuk meminta ijin menggeluarkan uang terlebih dahulu untuk Pak Maman. Alhamdulillah suamiku mengerti.

”Habis mau bagaimana lagi? Mudah-mudahan nanti terganti oleh tagihan ke seluruh penghuni flat.” Begitu kata suamiku.

Pak Saman datang dengan wajah sumringahnya itu, dan makin cerah dengan pelangi senyumannya ketika kuserahkan uang yang telah ditetapkan.

”Pak Saman, ini uang sebesar 370 ribu. Tolong dikerjakan ya.”

”Loh, kenapa segini, Bu?” tanyanya.

”Hm? Kenapa memangnya, Pak?” tanyaku balik.

”Hehe…hehe…kemarin Bu Sugih bilang kan 400 ribu ya. Tapi ini hanya 370 ribu.”

Aku kaget dengan sikapnya yang luar biasa itu. Dia begitu jujur, tapi seperti tak punya malu menanyakan hal sensitif soal uang. Terlalu blak-blakan.

”Bapak mungkin ingat pernah saya beri 30 ribu untuk uang makan. Jadi seharusnya ini sisa dari 400 ribu.”

”O iya iya…punten atuh.” Dia meminta maaf, terlihat sekali dia malu hati.

Dengan kejadian itu aku merasa jadi tak simpati kepada Pak Saman. Pertama, karena dia sudah berani minta bayaran sebelum bekerja. Kedua, ternyata dia benar-benar menghitung untung ruginya, misalnya soal kekurangan 30 ribu tadi. Tapi dia lupa bahwa sudah pernah menerima bayaran sebelumnya. Ternyata masalah uang bukan hanya milik orang gedean, tapi rakyat kecil pun tak mau ketinggalan.

***
Tiga minggu setelah urusan pembuangan kotoran manusia tadi selesai, maka Pak Saman mulai beredar menagih uang kepada tujuh KK di flat ini. Namun dalam seminggu urusan itu tidak selesai-selesai juga. Hatiku mulai kebat-kebit. Jangan-jangan uang kami tak kembali?

Dengan kegelisahan yang memuncak, kudatangi Bu Sugih yang sedang sibuk berkemas-kemas rumah. Dia akan pindah ke rumah barunya. Itu pun setelah dua puluh tahun menetap di kompleks ini.

”Bu, ini sudah seminggu dan Pak Saman belum mengembalikan semua tagihan dari penghuni kompleks. Saya ingin bertanya padanya, tapi saya ingin minta pendapat Ibu dulu.”

”Loh, kata Pak Saman udah terkumpul kok.” Hatiku berdesir mendengar jawaban dari Bu Sugih.

”Memangnya belum sampai ke tangan Bu Diky?”tanya Bu Sugih keheranan.

”Eh, belum, Bu. Atau jangan-jangan Pak Saman pernah ke rumah tapi saya lagi keluar ya?” jawabku pura-pura linglung. Aku yakin aku tak kemana-mana selama seminggu ini.

”Oh gitu. Man…Man…ke sini dulu.” Bu Sugih tiba-tiba memanggil Pak Saman. Yang dipanggil nongol dari atas rumah Bu Sugih. Ternyata Pak Saman sedang membantu keluarga itu pindahan. Aku kaget melihatnya ada di situ.

”Oh, iya iya. Nanti saya antarkan. Nanti malam lah.” Begitu jawabnya enteng. Lalu kembali bekerja.

Satu kadar lagi rasa simpatiku padanya menipis. Kenapa orang ini tidak bisa memegang amanah? Dia kan sudah menerima uang, aku percaya, tapi uang yang sudah terkumpul tidak juga disegerakan kepadaku.

Padahal Rasulullah SAW bersabda: “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga macam: “Jika berkata ia berdusta, “. jika berjanji ia ingkar, dan jika dipercaya dia berkhianat.”

Rasa kesal hatiku ini kusampaikan pada suami malam harinya. Suamiku juga heran dengan sikap Pak Saman.

”Kita tunggu saja ya. Semoga malam ini dia memang datang.” Elusan tangan suami ke pundakku sangat membantu meluruhkan kekesalan hati ini. Tapi ternyata hingga fajar menjelang Pak Saman tak pernah nongol.

Dua hari kemudian, barulah wajah sumringahnya datang.

”Ini uangnya, Bu. Maaf lama mengembalikannya.”
Uh, sudah tahu telat, pakai maaf. Maaf itu yang kelamaan. Aku hanya menggerutu dalam hati.

”Loh, uangnya kok kurang, Pak?”

”Oh iya. Saya pinjam 30 ribu. Untuk rokok.”

Jawabannya sungguh membuatku naik darah. Sambil menahan amarah, aku berkata tegas padanya.

”Pak, saya sudah membayar penuh sesuai dengan permintaan Bapak. Jadi seharusnya uang itu pun kembali seutuhnya. Kenapa pakai ada alasan meminjam untuk rokok segala? Bapak kan tidak pernah bilang kepada saya sebelumnya. Itu mah bukan minjam atuh, Pak….”

”Hehe…hehe…nya punten…” Pak Saman hanya berkata maaf, lalu berlalu.

Yang tertinggal adalah rasa maluku pada suami. Uang hasil jerih payahnya bekerja, tak utuh kembali. Itu pun dengan alasan yang tak masuk akal.

Sejak itulah wajahku tak pernah bisa tersenyum jika berpapasan dengan Pak Saman. Walaupun dia tak berubah, tetap ramah apalagi kepada anak-anak kami, tetap berseliweran bekerja serabutan di kompleks ini, tapi tidak membuat hatiku menjadi lunak. Sikapnya seolah tak berhutang pada kami itulah yang menjadi penyebab kekeruhan wajahku. Meskipun kami sudah tak mengharapkan uang itu kembali.

Hingga akhirnya ketukan pintu di pagi hari ini, ketika dia membawa surat tagihan sebesar 32 ribu rupiah ke depan wajahku.

”Ibu tidak usah bayar. Cukup tanda tangan saja. Kan uang Ibu pernah saya pinjam dulu.”

”Tapi, Pak. Ini 32 ribu, sedangkan dulu kan hanya 30 ribu. Saya tambahkan dua ribunya ya,” kataku.

”Teu, teu kedah, Bu.” Pak Saman berkata tidak perlu penambahan uang dariku sambil pergi meninggalkanku yang terpana.

Kini Pak Saman sudah tak bekerja sebagai penggeruk kotoran penghuni kompleks lagi, karena baru-baru ini akhirnya dibuatlah fasilitas septi-tank.

Tapi, Pak Saman. Mengapa amanah itu harus tercoreng hingga ratusan hari? Bagaimana mengembalikan kepercayaan yang pernah hilang dari hati kami ini.

Aku tak kuasa menanyakannya dan hanya melanjutkan hari ini dengan bayang-bayang Pak Saman.
(eramuslim.com/torik)

Kamis, 08 April 2010

Jangan & sayur kunci

Kata jangan dalam bahasa jawa berarti sayur.Dalam bahasa Indonesa kata "jangan" berarti larangan untuk melakukan sesuatu. Kunci bagi orang jawa merupakan tumbuhan yang lezat untuk sayur. Dalam bahasa Indonesia "kunci" berarti alat untuk membuka sesuatu. Dua kata ini sempat menjadikan seorang perempuan pengantin baru dari luar jawa yang diambil menantu orang jawa salah kaprah, kejadian ini adalah contohnya; "ayo jangan lodehnya makan" ujar mertua mempersilahkan dengan bahaasa jawa campur bahasa Indonesia. Sang menantu baru diam tidak bergerak. Mertuanya pun juga memaklumi. Ketika perjalanan pulang ke rumah baru,sang suami bertanya; "mengapa kamu tidak mau makan sayur lodeh buatan ibu?" "lo,saya ini suka sekali sayur lodeh,tetapi ibu tadi kan melarang saya makan" "itu namanya bukan melarang,justru menyuruh makan,jangan itu di jawa artinya sayur. Ya sudah nanti sampai di rumah,masakin saya sayur kunci ya?Sayur kunci itu enak tenannn." "i..Ya i..Ya bang!" jawabnya sambil mengangguk karena taat perintah suami,tetapi agak ragu-ragu. Ketika sampai di rumah, sang suami langsung keluar rumah untuk membelikan beberapa keperluan,sedangkan dia sibuk memasak di rumah. Ketika pulang,sang suami minta dibukakan pintu,tetapi sang istri menjawab; "kuncinya sudah saya sayur bang" "waduh waduh bisa gawat ini,kunci yang mana?" guman suaminya sambil memegang kepala. "semua kunci saya masak,biar tambah enak"

Rabu, 07 April 2010

BERSHALAWAT KEPADA NABI


Ya Nabi salam padamu
Ya Rasul salam padamu
Kekasih salam padamu
Shalawat s'lalu untukmu
Kalau cinta kepada Nabi
Baca shalawat kepada Nabi
Kalau Allah tak mengutus Nabi Gelaplah jiwa gelaplah hati
Nabi Muhammad utusan Ilahi Wajahnya jernih berseri-seri
Kalau tersenyum bertemu insan Terhapus sedih dan kesusahan
Akhlak Nabi bagai bunga-bungaan Harum semerbak tiada tandingan
Wahai Nabi wahai junjungan Kami bangga mengikut Tuan
Ya Allah Ilahi Rabbi Kami memohon sepenuh hati Didalam akhirat nanti Ijinkanlah kami bersama Nabi
(penulis seorang budayawan tinggal di sumenep-Madura)

KEUTAMA'AN BERJABAT TANGAN


Diriwayatkan dari Imam Abu Dawud r.hu telah berkata, "suatu ketika al-bara' bin Azib menemuiku dan ia memegang tanganku serta menyalamiku.Dia tersenyum kepadaku, kemudian berkata, "Tahukah anda,kenapa aku memegang tangan anda?" Aku menjawab, "tidak,tetapi aku mengira bahwa kamu tidak akan melakukan itu kecuali untuk tujuan kebaikan" al-bara' berkata, "Rasulullah saw telah menemuiku dan melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan tadi. Kemudian,Rasulullah bertanya, "tahukah kamu,kenapa aku melakukan ini?" Aku (al-bara') menjawab, "tidak, "beliau kemudian bersabda, "sesungguhnya dua orang muslim, jika bertemu keduanya, berjabat tangan dan tersenyum satu sama lain hanya semata-mata karena ALLAH, melainkan keduanya sudah diampuni sebelum berpisah" Pemahaman: luar biasa seorang muslim-mukmin atau muslimah-mukminah saling bertemu,lalu menunaikan adab pertemuan yang dirahmati tersebut sebagai salah satu media tazkiah yang hebat,yakni menjadikan seorang muslim mukmin hatinya lembut lagi santun dan mendatangkan ampunan di sisinya,yang jelas seseorang yang melakukan kontak atau komunikasi di antara mereka akan terjadi sirkulasi rizky dari ALLAH ta'ala;insya Allah. Pembelajaran sifat; Alhamdulillah bangsa indonesia diakui sebagai bangsa paling murah senyum didunia. Predikat ini disampaikan oleh AB Better Business yg berbasis di Swedia pada 8 april 2009. Siaran pers lembaga itu menyatakan,berdasarkan survei The Smiling Report senyum di dunia dengan skor 98%. Untuk kemurahan menebar salam,skor Indonesia sejajar Hongkong sebesar 98%.
Perubahan Prilaku;
  1. Biasakan mendahulukan mengucap salam
  2. Biasakan mengajak berjabatan tangan lebih dahulu
  3. Miliki selalu wajah yang murah senyum
  4. Senang mendoakan orang lain
  5. Berpikir positif kepada orang lain
OASE PENCERAHAN; seorang muslim hendaklah menjadi medan magnet yang dapat mempengaruhi bukan dipengaruhi,dan menjadikan dinul islam sebagai acuan jaman,mengajak kemakrufan dan menjauhi kemungkaran,jadikan senyum dan jabat tangan sebagai habits seorang muslim-mukmin
(dikutip dri buletin mingguan Al-Fath edisi 437)

Selasa, 06 April 2010

Studi Vs Prospek Nikah?


Oleh F. Abubakar

Si V: Wah, lagi S3? Berarti calonnya nanti minimal juga kudu doktor, dong?

Paman W: Jangan sekolah melulu, ntar gak nikah-nikah, lho!

Mbak X: Aku gak jadi nerusin doktor, ah… wong lulus master gini aja belum juga dapet jodoh!

Mahasiswi Y: Jadi wanita nggak perlu sekolah tinggi-tinggi, ‘kan nantinya ke dapur juga!

Mbak Z: Si A mundur, Mbak… soalnya dia masih kuliah S2, padahal Mbak udah Master!

Beberapa komen di atas sering muncul di sekitarku, terutama yang senada dengan V, W, dan X. Komen yang mengarah pada satu kesimpulan: pendidikan yang tinggi bagi wanita akan meningkatkan kesulitan untuk mendapatkan jodoh baginya! Percaya atau tidak, hal tersebut belakangan ini membuat teman-teman wanitaku enggan untuk melanjutkan studinya, padahal mereka memiliki kesempatan dan kemampuan untuk itu. Salah satunya… ya, tentu saja si Mbak X ini. Padahal kesempatan terbuka lebar baginya, dan saat itu ia juga belum mendapatkan kejelasan, dengan siapa akan menikah.

Kalau sang calon pendamping sudah jelas, pasti beda lagi situasinya. Tinggal didiskusikan dengan yang bersangkutan, bereslah sudah! Namun yang kebanyakan mengorbankan studi demi menanti sang calon suami ini, justru mereka yang masih benar-benar sendiri, dalam arti tidak sedang berproses/dekat dengan pria manapun.

Menanti sang pendamping, memang salah satu dari ketidakpastian. Ada berbagai kemungkinan yang membuat sang qawwam ini belum hadir juga. Yang pertama, tentunya kriteria dari si muslimah itu sendiri. Kalau dia menentukan kriteria yang terlalu ‘biasa’, bisa jadi, justru inilah yang mempersulit kehadiran sang pendamping hidup. Lho, kok bisa? Ya, iya, lah… wong maksudnya sang suami itu harus ‘biasa’ berakhlaq Al-Qur’an bak Nabi Muhammad SAW, berwajah ‘biasa’ ala Nabi Yusuf AS, ‘biasa’ kaya dan berkuasa bagai Nabi Sulaiman AS, dan ‘biasa’ sabar seperti Nabi Ayyub AS! Wah, kalau yang kayak gini sih, mau bumi ditegakkan dan diruntuhkan berapa kali juga nggak bakalan ketemu, deh!

Jadi, sebelum menentukan kriteria, ada baiknya kita juga berkaca pada diri sendiri. Bukankah Allah telah menyampaikan dalam Q.S. An-Nuur: 26, bahwa: “… perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik (pula).” Kesimpulannya? Ya, kalau kita tidak sebijaksana dan sesholehah Khadijah RA, atau pun secerdas dan seberani Aisyah RA, jangan pasang kriteria setinggi Rasulullah dan kawan-kawan, dong! Cari kriteria yang membumi, karena kita memang tinggal di bumi, bukan di awang-awang.

Yang kedua, berusaha/ikhtiar. Menurut Ustadz Arif Rahman (Kepsek Lab School) dalam ceramah Ramadhan di kantor dulu, ada 3 bentuk ikhtiar yang bisa dilakukan oleh muslimah untuk ‘menjemput’ sang qawwam ini:

A) Meluruskan niat dan membuka diri. Maksudnya bergaul, secara syar’i tentunya. Kalo ngumpet terus di rumah, gimana mau ketemu orang, dong? Jangan-Jangan malah selama ini orang di sekitar nggak ngeh kalo kita ada, karena hibernasi melulu. Terus soal niat, mesti diseriuskan bahwa niatnya memang untuk nikah, menggenapkan setengah agama. Bukan cuman untuk hura-hura atau pacaran yang nggak ketahuan juntrungannya. Bukankah segala sesuatu itu berawal dari niat? Jika niat baik, jalannya baik, dan tujuannya baik; Insya Allah akan dipermudah dan dilancarkan.

B) Meminta rekomendasi teman/kerabat/keluarga. Sama dengan rejeki, yang namanya jodoh itu juga datangnya dari arah yang tak disangka-sangka. Kalau nggak percaya, tanya saja ke temen-temen sekitar yang sudah nikah, pasti banyak cerita-cerita ajaib soal pertemuannya dengan pendamping hidupnya saat ini. Di sisi lain, kita juga mesti hati-hati dan memilih teman yang dapat dipercaya, jangan asal OK aja. Ingat, nikah itu bukan cuman untuk sebentar dua bentar, tapi Insya Allah hingga bertemu di surga nanti.

Jadi pastikan bahwa semua informasi yang didapatkan adalah yang paling up-to-date, akurat, tajam, dan tepercaya! Jangan mudah percaya dengan sesuatu yang berawalan dengan: “Kudengar dari temen, temenku punya kawan, kawannya ini sohiban sama si B, nah… temen sebangkunya tetangga si B ini katanya lagi nyari isteri.” Waduh, jauh banget, ya …’kan susah untuk cek en riceknya infonya nanti. Sebenernya paling enak memang kalau dijodohin sama orang tua, asalkan kriteria mendasar kita sama dengan mereka. Soalnya tiap orang tua pasti akan memilihkan yang terbaik buat anaknya. Nah, tinggal pinter-pinter negosiasi aja sama orang tua, biar tidak ada tabrakan kepentingan di sini, karena seringkali patokan kriteria sang ortu berbeda dengan sang anak.

C) Last but not least, berdoa. Niat udah, usaha udah, tinggal tawakkal, pasrahkan dan mintakan yang terbaik kepada Allah, karena hanya Dia-lah yang mengetahui kepastian tentang jodoh kita. Selalu berbaik sangkalah kepada-Nya, karena hanya Allah yang mengetahui mana yang terbaik bagi kita.

Nah, kembali ke soal pendidikan tinggi dan hubungannya dengan berkurangnya prospek untuk menikah. Terus terang, setidaknya ada empat alasan bagiku untuk menolak pendapat ini.

1. “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” Catat: setiap muslim, yang berarti baik laki-laki maupun perempuan. Memang, menuntut ilmu tidak wajib lewat pendidikan formal, tapi kalau kesempatan dan kemampuan memungkinkan, kenapa tidak? Percaya deh, yang namanya sekolah itu nggak bakalan ada ruginya. Kecuali kalau niat sekolah bukan untuk menuntut ilmu, tapi cuman pengen gaul dan kongkow-kongkow bareng temen di luar kelas, memperluas jaringan. Kalau ini mah, jelas rugi banget, udah buang waktu, tenaga, dan biaya, tapi yang kita dapet sama sekali nggak setara dengan itu.

Selain itu, patut diingat bahwa kelak bila sudah menikah dan melahirkan, seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Itulah sebabnya, pendidikan bagi seorang ibu dan calon ibu sangat penting. Kebayang nggak sih, kalau ibunya lulusan SD, terus waktu si anak duduk di SMP nggak bisa ngerjain/nggak ngerti PR-nya, mau bertanya ke siapa? Ibunya nggak paham, ayahnya belum tentu sempat ngajarin. Kasihan si anak, ‘kan? Apalagi di era globalisasi seperti ini, di mana sang ibu juga dituntut untuk berpacu dengan waktu, agar dapat memberikan bekal pendidikan yang mantap bagi sang anak, sehingga sang anak bisa mandiri, sholeh/ah, dan tidak gampang terpengaruh dengan lingkungannya.

2. Jodoh merupakan salah satu dari tiga sekawan (bersama rejeki dan maut, maksudnya) yang hanya diketahui kepastiannya oleh Allah SWT. Tiga sekawan itu telah dituliskan sejak awal nyawa kita ditiupkan. Kalau kita menganggap bahwa orang yang berpendidikan tinggi itu sulit mendapatkan jodoh, wah… berarti sama saja kita menganggap bahwa Allah pilih kasih, tidak adil pada wanita yang berpendidikan tinggi, soalnya hak prerogatif nentuin jodoh itu ‘kan di tangan Beliau? Pastinya, Allah nggak gitu, deh! Mungkin ‘kesulitan’ bertemu jodoh ini justru karena kriteria yang terlalu tinggi tadi, sehingga walaupun yang bersangkutan sudah di depan mata, tapi si wanita masih tetap berharap yang lebih dan lebih, tanpa memperhitungkan kualitas dirinya sendiri, sehingga menolak sang jodoh yang telah ditetapkan.

3. Tingkat pendidikan formal yang tinggi bukan berarti tahu segalanya. Mungkin semua ingat, kita dulu belajar “sapu jagad” justru saat di SD: dari belajar baca tulis angka, huruf Latin, Jawa, dan Arab sampai not balok; dari sejarah Kutai sampai teori relativitas; dari melipat kertas sampai menjahit; dari berkebun sampai olahraga. Lama-kelamaan, pendidikan beralih dari generalis menuju ke spesialis, yang dimulai sejak penjurusan di SMA, terus berlanjut hingga akhirnya di S3 kita hanya menambah pengetahuan untuk jenis bidang ilmu yang digeluti saja.

Jadi kalau ada yang bilang bahwa muslimah lulusan S3 mesti nikah dengan pria yang minimal S3, rasanya nggak juga. Semuanya tergantung pada pribadi masing-masing. Karena kemampuan akademik tidak mencerminkan kepribadian seseorang sepenuhnya. Idealnya memang sekufu. Tapi sekufu bukan berarti setara dalam gelar akademik, ‘kan? Jika calon qawwam yang diajukan memiliki kepribadian yang sholeh, akhlaq yang baik, dan pola pikir serta komunikasi yang nyambung (walaupun gelar akademik yang dimilikinya lebih rendah dari si wanita), kenapa tidak diterima? Selama bisa saling menghormati, Insya Allah perbedaan status pendidikan ini tidak akan menjadi masalah dalam bahtera rumah tangga nanti.

4. Memanfaatkan waktu sambil menanti kepastian di tengah ketidakpastian. Menuntut ilmu adalah salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas diri dalam masa penantian yang tidak pasti ini. Jangan sampai kita duduk manis menunggu si godot, eh si jodoh ini, deh! Pasti semua sudah mendengar hadist ini:”Manfaatkanlah lima (keadaan) sebelum (datangnya) lima (keadaan yang lain): Hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum sakitmu, waktu luangmu sebelum waktu sempitmu, masa mudamu sebelum masa tuamu, dan kayamu sebelum miskinmu” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi). Iya kalau nunggunya bentar, kalau lama? Rugi banget, kan… buang-buang waktu dan kesempatan hanya karena mengandalkan sesuatu yang belum pasti kapan tibanya.

Jika sang qawwam belum juga hadir, pastinya ada alasan Allah untuk itu. Mungkin saja kita diberikan kesempatan untuk berkarya semaksimal mungkin sebelum menikah, karena pernikahan bagi beberapa orang dapat mengurangi kebebasan untuk beraktivitas, apalagi jika anak-anak telah hadir menemani.

Pernah seorang wanita bilang kepadaku, ”Enak ya, kalau belum nikah, bisa sekolah ke mana-mana, bisa kerja di tempat yang kita suka. Kalau udah nikah, mah… semua kudu pake izin suami, apalagi setelah ada anak… nggak bisa ditinggal sama sekali, ribet banget, dah!”

Hehehe… pastinya, nggak semua begitu, lho! Banyak kok, temen-temen yang sudah nikah dan punya anak, tapi tetap bisa beraktivitas seimbang di keluarga dan masyarakat. Jadi komen si Y di atas juga nggak masuk hitungan, deh… karena sebaik-baik manusia, adalah yang paling bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Hal yang perlu diingat adalah, komunikasikan keinginan untuk tetap beraktivitas di luar rumah ini pada sang calon pendamping, agar tidak menyesal di kemudian hari.

Tapi jika masih ada pria yang mundur hanya karena status pendidikan yang lebih rendah dari si wanita, gimana dong? Yaaa, itu sih problem dia, bukan kita, hehehe. Rasulullah SAW pun memiliki isteri yang sangat terkenal kecerdasannya: Aisyah binti Abubakar RA. Namun beliau tidak pernah mempermasalahkan hal ini, walaupun telah mengetahuinya sejak sebelum pernikahan mereka. Beliau menikahi Aisyah atas perintah Allah justru karena kecerdasannya, yang di kemudian hari sangat membantu dalam pengumpulan hadist-hadist yang berhubungan dengan kehidupan Rasulullah sehari-hari.

Orang yang terbaik bagi kita adalah yang dapat menerima kita apa adanya, sebagaimana penerimaan kita terhadapnya. Dengan kata lain, qawwam yang tepat bagi seorang wanita adalah yang mampu menerima calon isterinya dalam kondisi walau (walau nggak cantik, walau nggak feminin, walau pendidikannya lebih tinggi, walau beda suku, walau dari keluarga yang biasa saja), bukan dengan syarat kalau (kalau cantik, kalau feminin dan lemah-lembut, kalau pendidikannya setara/di bawahnya, kalau dari suku yang sama, kalau anak orang kaya, dst.). Wah, kalau syaratnya mengubah sejarah pendidikan, keturunan, kekayaan, dan kepribadian begini mah, mendingan milih orang lain aja, deh!

Kesimpulannya, tetaplah untuk terus maju. Selama apa yang kita kerjakan itu baik, benar, dan halal, kenapa mesti ragu? Karena waktu terlalu berharga, untuk disia-siakan dalam penantian yang belum jelas ujungnya. Begitu berharganya waktu, sampai Allah pun mengatakan dalam Q.S. Al-Insyirah: 7, “Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)….” Bila sang sandaran hati tak juga berjumpa di dunia ini, Insya Allah pasangan abadi akan dipertemukan di akhirat nanti.

***

Finally… just be yourself, do your best, think positive, and keep praying for His guidance, because only Allah who knows the best for us …:).

SIAPA ORANG YANG RUGI



Dari sahabat ka'ab bin ujrah r.hu ia berkata,Rasulullah saw bersabda, "datanglah kemimbar" kemudian kami mendatangi mimbar.Ketika Rasulullah saw menaiki anak tangga,beliau membaca amin,ketika naik anak tangga yang kedua beliau membaca amin,ketika menaiki anak tangga ketiga,beliau membaca amin. Setelah beliau turun dari mimbar kami bertanya "wahai Rosulullah,hari ini kami mendengar sesuatu yang belum pernah kami dengar sebelumnya" Rosulullah swa bersabda "jibril mendatangiku dan berkata "sangat rugi orang yang bertemu dengan ramadlan,namun tidak mendapatkan ampunannya"Aku membaca amin" ketika menaiki tangga yang kedua,dia berkata "sangat rugi orang yang tidak bershalawat,ketika nama Rosulullah disebut dihadapannya" Aku membaca amin" ketika aku menaiki tangga yang ketiga,dia berkata "sangat rugi orang yang masih bertemu dengan kedua orang tuanya atau salah satunya,namun orang itu tidak masuk surga" Aku membaca amin".
PERUBAHAN PRILAKU
  1. Miliki mindSET untuk dapat meninggalkan perbuatan buruk yang disampaikan malaikat jibril kepada nabi saw.
  2. Menunaikan puasa ramadlan dengan dasar iman dan ikhlas.
  3. Perbanyaklah membaca shalawat nabi dengan tulus ikhlas,juga gemarlah didalam menjawab shalawat ketika nama nabi saw disebut.
  4. Berbaktilah kepada kedua orang tua,dengan disertai sikap mental dan prilaku tawadlu',husnudhan,dan sabar.

Minggu, 04 April 2010

Terima Kasih Istriku


Oleh Eko Prasetyo

Bu, hari ini kau tampak begitu letih. Sebelum mataku terbuka melihat dunia, sebelum fajar mengajak kita bersujud, kau mencucikan pakaian dinasku. Segelas kopi untukku tak pernah absen di meja makan kita yang sederhana, yang tak layak disebut meja makan. Kala mataku lelah bekerja membangun sebuah masa depan, kau rajin mengingatkanku untuk tak lupa berdoa.

Bu, hari ini kau tampak begitu letih. Namun, kau berupaya menyembunyikannya di depanku dan selalu seperti itu. Dan aku tak tega untuk berterus terang bahwa aku mengetahui kau kelelahan. Maka, biarkan tubuhku menjadi perebahan sejenakmu melepas penat sebelum aku berangkat kerja.

Bu, hari ini kau tampak begitu letih. Namun, tak pernah kudengar engkau mengeluhkannya. Yang ada, kau rajin bersenandung di kamar kecil kita tiap maghrib dengan lantunan ayat-ayat suci. Waktu istirahatmu telah tercuri untuk darma baktimu sebagai istri.

Bu, hari ini kau tampak begitu letih. Tak jarang kau membuat masakan lezat kesukaanku. Tak jarang kau mengurusi segala urusan rumah tangga kita sendirian. Tak jarang aku harus meninggalkanmu demi tugas. Tak jarang aku lebih memikirkan pekerjaan di kantor ketimbang meluangkan waktu bersamamu.

Bu, hari ini kau tampak begitu letih. Selama satu tahun kau setia mendampingiku dalam suka dan duka. Tak sedikit pun kau lalai membukakan pintu ketika dini hari aku pulang kerja. Tak sedikit pun kau mengeluhkannya. Justru kau tak segan menyampaikan doa untuk keselamatanku.

Wahai muslimah baik, istriku, saksikan hari ini aku sebagai laki-laki yang egois dan memikirkan diri sendiri untuk:

Menyampaikan rasa kagumku.
Menyampaikan maafku karena keteledoranku.
Menyampaikan terima kasih tak terhingga atas pengorbananmu.
Menyampaikan kebanggaanku sebagai suamimu.

Graha Pena, 2 April 2010
www.samuderaislam.blogspot.com

 
Copyright 2009 Embun Hati. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator
Blogger Showcase